Senin, 07 Februari 2011

The Last Ember

Sejarah bisa dijamah dari berbagai perspektif oleh beragam orang. Sehingga sesuatu yang telah menjadi konsensus umum kadang berubah karena dianggap belum sepenuhnya menggambarkan kejadian sebenarnya, meski telah dikisahkan turun-temurun selama ratusan bahkan ribuan tahun. Sejarah juga kerap menjadi alat politik, karena pihak yang berkuasa tak jarang berusaha mengendalikan sejarah untuk memperkuat kekuasaan mereka.
Semangat yang sama tercermin dalam karya perdana Daniel Levin, The Last Ember atau Bara Api Terakhir. Cerita berawal begitu saja ketika potongan Forma Urbis, peta kuno Roma dari batu muncul di sebuah pameran di Italia yang kemudian dimeja-hijaukan. Di pengadilan, Dr. Emili Travia yang bekerja di Pusat Konservasi Internasional PBB berusaha membuktikan bahwa kepemilikan Forma Urbis itu ilegal, sementara Jonathan Marcus, seorang pengacara muda dan alumnus program doktor di bidang studi klasik ditugaskan oleh kantor pengacaranya untuk mematahkan tuntutan tersebut.
Setelah diteliti lebih lanjut, pesan rahasia berusia ribuan tahun di bawah Forma Urbis yang bertuliskan Tropaeum Josepho Illumina: sebuah monumen yang ditujukan kepada Yosefus, tanpa sengaja terungkap oleh Marcus. Hal itu membuatnya meninggalkan tugas dan kembali bertualang bersama Emili, mantan kekasihnya, dalam dunia arkeologi, menelusuri labirin penuh rahasia dan menguak misteri demi misteri yang terbentang antara Roma dan Yerusalem, guna menyingkap keberadaan menorah tersebut.
Potongan tersebut kemudian oleh Marcus di bawa kepada Chandler Manning, ahli mistisme dunia kuno, yang diidentifikasi merupakan petunjuk tsurat ha-hidah: teka-teki simbolis, yaitu rujukan tersembunyi terhadap simbol monoteisme yang paling kuno berupa menorah tabernakel.
Benda tersebut berbentuk lampu suci becabang tujuh dengan api abadi setinggi tiga meter dan terbuat dari emas murni serta telah berusia 2.000 tahun yang (menurut kepercayaan) menjadi saksi atas perjanjian bangsa Israel dengan Tuhan, simbol perjanjian abadi bahwa keturunan Ibrahim akan sama banyaknya dengan jumlah bintang di langit dan pasir di tepi pantai.
Layaknya dalam film-film detektif, Marcus, Emili, dan Chander menguak satu demi satu petunjuk yang mengantarkan mereka lebih dekat kepada Menorah. Dimulai dengan petunjuk berupa sebuah tato bundar kecil dalam bahasa Latin dan Yunani yang melingkari pusar sang mayat wanita yang diawetkan berusia ribuan tahun bertuliskan Phere nike umbilicus orbis terranium: Kemenangan di pusat dunia.
Petualangan Marcus, sang animal symbolicum, dan Emili dalam memecahkan berbagai petunjuk ternyata tidak berjalan mulus. Di satu sisi ia harus berhadapan dengan sebuah jaringan intelijen zaman dulu yang telah bersumpah untuk melindungi artefak itu. Sementara pada sisi yang lain, Marcus juga dihadapkan pada satu kelompok radikal misterius yang berencana menghancurkan seluruh bukti sejarah yang berada di Bukit Baitallah (al Haram al-Syarif).
Cendekiawan hebat memiliki determinasi seorang pemburu, sifat inilah yang ditamankan dengan baik kepada sosok Marcus oleh penulis. Marcus pun terus berpacu dengan waktu untuk segera menemukan dan menyelamatkan Menorah tersebut sekaligus mengagalkan penggalian ilegal yang dilakukan oleh Dewan Wakaf di bawah Baitallah di Yerussalem demi menghapus warisan Yahudi-Kristen yang berusia ribuan tahun.
Kesan pertama yang muncul setelah membaca novel ini, harus saya akui bahwa Daniel Levin mampu membakar rasa penasaran pembaca lewat plot menegangkan dan penuh kejutan khas cerita thriller dengan balutan konspirasi dan penghianatan yang nampak kental mewarnai perburuan menorah ini.
Setiap kali salah satu tokoh sudah hampir mencapai saat-saat kritis, cerita kemudian berpindah pada tokoh lain dengan kasus yang lain pula. Teka-teki setiap tokoh seolah disimpan erat hingga saat-saat yang tepat untuk diungkapkan. Teka-teki inilah yang dibangun oleh penulis untuk bisa menjahit cerita dalam setiap lembarnya hingga halaman terakhir.
Berbekal latar belakang pendidikan penulis dalam bidang kebudayaan Romawi dan Yunani dari Universitas Michigan dan Sekolah Hukum Harvard serta kemampuan menulis yang baik membuat detail-detail yang digambarkan membawa fantasi pembaca seolah berada di tempat kejadian, menjadi bagian dalam perburuan. Mereka yang awam dengan sejarah Romawi dan Yerussalem sekalipun bisa terbawa mengalir melalui pengungkapan detail lokasi, suasana, dan bangunan yang ada.
Sisi lain yang menurut saya menarik dari novel ini adalah upaya penulis untuk melakukan apa yang dalam dunia ilmiah kita sebut sebagaihistorical criticism, kritik sejarah. Misalnya, lewat tokoh Marcus, sang penulis hendak menyampaikan bahwa sebenarnya menorah yang asli tidak pernah lepas dari tangan bangsa Yahudi.
Flavius Yosefus, yang selama ini dianggap sebagai pengkhianat Yahudi karena bekerja untuk Kaisar Titus setelah kejatuhan Yerusalem, ternyata seorang mata-mata hebat yang telah berhasil menyelamatkan menorah dari tangkapan pasukan Romawi. Sehingga menorah yang selama ini selalu berpindah tangan mengikuti pihak yang berkuasa, hanyalah duplikat dari menorah yang asli.
Sebagaimana pengakuan penulis, seluruh referensi naskah kuno dalam novel ini adalah nyata. Meskipun begitu, saya tetap menilai karya ini sebagai sebuah novel fiksi. Keseluruhan isi dalam novel ini saya anggap sebatas upaya penulis untuk menafsirkan simbol-simbol yang ada, murni dari perspektif dirinya sebagai seorang ahli hukum. Tapi tentu saja pembaca dapat membuat penilaian dan memberikan perspektif tersendiri atas beberapa hal mendasar yang diangkat sebagai latar persoalan novel ini.
Dari aspek isi, novel ini seirama dengan novel The Da Vinci Code karya Dan Brown, penyajian yang tajam, penuh dengan intrik, dan mencekam. Sehingga bagi anda para pecinta novel thriller, karya Daniel Levin ini sangat sayang jika harus dilewatkan. Selamat berpetualang!

Detail Buku
Judul: THE LAST EMBER
Penulis: Daniel Levin
Penerjemah: Fahmi Yamani
Tebal : 573 hlm
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar